"TRACK RECORD" DAN "RECAL" WKL RAKYAT

NARASUMBER : KANG ATIP TARTIANA

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidaklah dipilih melalui mekanisme politik tanpa biaya, tetapi lewat pemilihan umum (Pemilu) dengan ongkos yang bahkan teramat mahal. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika rakyat sangat mengharapkan setiap anggota DPR, selain amanah, juga bisa memberikan teladan yang baik kepada rakyat.
Sayangnya, jauh panggang dari api, harapan tersebut tampaknya masih sulit terwujud. Faktanya, DPR malah berkali-kali diguncang berita tak sedap lantaran perilaku tak terpuji sebagian anggotanya.
Isu miring terhangat yang menghantam lembaga terhormat tersebut yaitu dugaan korupsi anggota Komisi VII DPR periode 2004-2009, Saleh Djasit. Ia didakwa korupsi Rp 4,7 miliar dalam pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran (damkar) di Provinsi Riau pada 2003, ketika dirinya menjadi Gubernur Riau periode 1998-2003. Menurut jaksa, Saleh Djasit dinilai korupsi karena projek pengadaan mobil damkar dilakukan tanpa tender dengan mematok harga lebih tinggi daripada harga pasar.
Nyaris dalam waktu yang bersamaan, dari gedung Senayan berembus kencang isu pelecehan seksual yang dilakukan anggota DPR Max Moein terhadap staf pribadinya Desi Firdiyandi. Kabar tersebut karuan menjadi santapan empuk media massa setelah korban melaporkan kasus pelecehan yang dialaminya kepada Badan Kehormatan (BK) DPR. Atas laporan tersebut, BK DPR belakangan didesak sejumlah kalangan untuk bertindak cepat dan tepat sesuai fungsinya.
Hanya berselang beberapa pekan sebelumnya, DPR disorot publik karena beberapa anggotanya diduga kuat menerima hadiah (gratifikasi) sebagai balas budi atas beberapa "projek" yang disetujui lembaga terhormat itu. Aroma gratifikasi paling hangat menebar di setiap ruang kerja Komisi IV DPR. Beberapa "projek" DPR yang diduga berbuntut kasus gratifikasi di komisi tersebut di antaranya persetujuan alih fungsi hutan lindung di Pulau Bintan serta hutan mangrove seluas 1.200 hektare di Banyuasih, Sumatra Selatan.
Bersyukur, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencium gejala tersebut. Akibatnya, satu per satu wakil rakyat ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Anggota Komisi IV DPR yang sudah ditahan di antaranya Al Amin Nur Nasution dan Sarjan Taher. Sebelumnya, KPK berhasil menangkap anggota DPR Hamka Yamdu dan Antoni Zedra Abidin dalam kasus gratifikasi dana Bank Indonesia (BI).
Tindakan memalukan para anggota DPR tersebut secara tidak langsung telah merontokkan legitimasi politiknya sebagai wakil rakyat. Legitimasi politiknya terancam lenyap tak bersisa jika pada akhirnya mereka terbukti bersalah hingga mendapat sanksi penjara sebagai terpidana.
Jika demikian, klasiknya mereka terpaksa harus menerima sanksi pemecatan dari kepengurusan atau bahkan dari keanggotaan partai politiknya. Skenario politik elite parpol biasanya berlanjut pada putusan recall (pencabutan) mereka dari posisinya sebagai anggota DPR.
"Track record & recall"
Rangkaian kasus dugaan kuat gratifikasi (korupsi) dan pelecehan seksual yang dilakukan para wakil rakyat dengan sendirinya semakin memperteguh buruknya track record (jejak rekam) lembaga legislatif kita. Maklum, jauh hari sebelumnya, gedung Senayan juga tak sepi dari isu-isu tak sedap lainnya seperti bergentayangannya "dayang-dayang" parlemen.
Isu terakhir ini mengingatkan kita pada Yahya Zaini, wakil rakyat yang tersandung kasus video mesum tahun lalu. Karena ulahnya tersebut, ia dikeluarkan sebagai pengurus parpol yang membesarkannya sekaligus di-recall dari kursi "manis" DPR.
Track record buruk para anggota DPR tersebut tentu tidak hanya memalukan, tetapi juga menyedihkan. Tragisnya, di luar itu, nyaris tak ada prestasi membanggakan yang berhasil ditorehkan wakil rakyat. Selama menjalankan tugasnya, mereka bahkan lebih menampakkan diri sebagai wakil parpol ketimbang wakil rakyat. Gejala ini bisa kita tangkap dari mengedepannya kepentingan elite parpol dalam setiap momentum pembahasan undang-undang (UU). Dalam penyelesaian UU Pemilu, misalnya, DPR terpaksa harus menundanya beberapa kali karena terhambat tarik-menariknya kepentingan elite parpol.
Track record buruk DPR ini mencerminkan gejala inkonsistensi dalam kehidupan elite politik. Inkonsistensi merupakan gejala ketimpangan yang begitu jauh antara yang seharusnya dilakukan dan yang senyatanya muncul dalam ranah kehidupan bangsa. Gejala inkonsistensi anggota DPR bisa muncul ketika mereka sudah kehilangan jiwa altruisme (peduli orang banyak) serta ruh kejujuran dan keikhlasannya sebagai wakil rakyat. Tak ada lagi energi empati anggota DPR kepada rakyat.
Situasi ini sesungguhnya sangat potensial bagi munculnya libido untuk mengakumulasi kekayaan pribadi. Libido jenis ini bisa mengencang karena dimotivasi dua tujuan, yaitu mengganti ongkos politik saat pemilu masa lalu dan menyiapkan amunisi untuk pemilu masa mendatang. Pada titik inilah biasanya korupsi mulai berani dilakukan oleh wakil rakyat sehingga ketika mereka kencang menyuarakan antikorupsi di ruang sidang, mereka juga kencang melakukan korupsi di tempat yang berbeda. Situasinya persis seperti syair yang dinyanyikan Iwan Fals: maling teriak maling!
Mekarnya gejala inkonsistensi para wakil rakyat sejatinya berisiko mengikis kepercayaan rakyat tidak hanya kepada DPR sebagai lembaga negara, tetapi juga terhadap parpol sebagai kendaraan politik para anggota DPR. Hal ini semestinya menjadi sebuah warning sekaligus otokritik bagi setiap parpol dalam menjalankan fungsi rekrutmen politiknya. Untuk kebaikan parpol dan rakyat di masa mendatang, elite parpol seharusnya tidak asal comot dalam merekrut calon legislatif (caleg) pada pemilu legislatif (pileg). Ke depan, parpol semestinya memiliki mekanisme efektif untuk menentukan caleg yang diimpikan rakyat.
Sejurus itu, aspek penting yang mesti menjadi pertimbangan elite parpol dalam menentukan seseorang menjadi caleg adalah integritas dan moralitas, bukan sekadar finansial atau loyalitas. Pertimbangan tersebut diyakini bisa menutup ruang bagi munculnya perilaku wakil rakyat bermasalah. Dengan demikian, parpol bisa meminimalisasi sanksi recall terhadap kadernya di lembaga legislatif.
Terlepas dari itu, kalaupun terpaksa diterapkan terhadap anggota dewan bermasalah, mekanisme recall sesungguhnya tak ubahnya sebagai kiat "cuci tangan" parpol di hadapan konstituennya. Padahal, selain tak menyelesaikan masalah, mekanisme recall juga dinilai tak akan begitu saja mengobati kekecewaan konstituen dan rakyat. Begitu pula kebijakan recall terhadap wakil rakyat bermasalah tidak bisa menjamin terpeliharanya nama baik parpol sebagai kendaraan politiknya.
Sanksi recall terhadap anggota dewan bermasalah semestinya diikuti parpol dengan meminta maaf kepada rakyat. Hal itu memang tak memiliki payung hukum yang bersifat memaksa. Namun, sebagai kendaraan politik caleg, parpol tak bisa begitu saja melepaskan ikatan emosional dengan rakyat sebagai pemilih. Lagi pula, meminta maaf merupakan pembelajaran etika sosial yang sejatinya sangat diperlukan parpol untuk manjaga hati konstituennya, terutama menjelang pileg masa mendatang.***

0 comments: