EUFORIA DEMOKRASI

SEPULUH tahun reformasi, eksistensi demokrasi belum banyak memberi arti. Demokrasi sementara ini hanya menjadi konsumsi sekelompok elite politik dan pemerintahan. Tak dapat disangka euforia demokrasi telah merasuk hampir semua orang sehingga merasa punya peluang untuk menjadi politisi "yang dijamin dalam UUD 1945" tetapi barrier entry-nya terlalu berat ditembus ketika Orde Baru. Wajar jika di era ini kemudian bermunculan politisi baru. Sayang, kemunculannya tidak diimbangi dengan performasi yang dijanjikan reformasi. Dalam perjalanannya, mereka sedikit berperilaku tidak lebih baik daripada politisi pada masa terdahulu.
Demokrasi dari persepsi politisi adalah cara membangun relasi kekuasaan yang melibatkan beberapa aktor politik. Sedangkan demokrasi intelektual adalah cara membangun kesadaran kolektif melalui gerakan moral (moral force). Artinya, bila demokrasi yang tidak dimaknai secara murni bisa jadi memicu potensi konflik.
Bisa dimaklumi bila sebagian masyarakat menjadi antipati, yakni dengan rendahnya partisipasi mereka dalam proses politik, termasuk dalam pemilihan kepala daerah (rata-rata sekitar 70%). Bagi negara-negara maju, rendahnya partisipasi adalah fenomena biasa. Namun, bagi negara-negara berkembang, fenomena ini merupakan anomali. Biasanya, partisipasi masyarakat sangat tinggi walaupun lebih bersifat tidak secara sukarela (voluntary) tetapi lebih merupakan mobilisasi (mobilized).
Pada sisi lain, reformasi juga membangkitkan desentralisasi dan demokrasi lokal mulai dari struktur politik hierarkis, sentralistik, feodalistik, dan otoriter. Locus politik telah bergeser dari pusat ke daerah, dari sentralisasi ke desentralisasi, dari bureaucratic government ke party government, dan dari executive heavy ke legislative heavy. Meski demikian, demokrasi lokal saat ini masih sebatas euforia, bukan sebagai proses konsolidasi menuju demokrasi lokal yang kokoh, beradab, dan terpercaya.
Bila diamati, euforia demokrasi dalam proses politik, baik pilpres maupun pilkada, masih pada tataran eksplosi demokrasi atau eksplosi aspirasi, dan ekspresi atas nama demokrasi. Eksplosi sering lepas kontrol sehingga berujung anarki. Akhirnya, euforia dan eksplosi demokrasi tidak berjalan sejajar dengan peningkatan pemahaman tentang demokrasi itu sendiri, baik demokrasi prosedural maupun demokrasi substantif.
Demokrasi cenderung disalahpahami sebagian masyarakat yakni demonstrasi massa dalam bentuk unjuk rasa dan lainnya, sehingga muncul istilah "demo- crazy". Kebebasan cenderung juga disalahartikan sebagai "kebebasan tanpa aturan" (lawlessness freedom) dan tanpa kepatuhan hukum. Hasilnya, anarkisme bukan hanya mencederai, tetapi bahkan jelas bertentangan dengan demokrasi.
Tentunya sebuah ilustrasi ironi dalam berdemokrasi, kebebasan yang dibawanya pada gilirannya tersandung berbagai gejala anarki. Demokrasi dengan kebebasan menimbulkan eksplosi aspirasi dan ekspektasi. Artinya, eksplosi aspirasi dan ekspektasi tak selalu datang lebih cepat, terlebih cara-cara instan, ketika kemerosotan dekadensi di berbagai level.
Dalam konteks ini, demokrasi jelas tidak berjalan baik tanpa adanya kepatuhan dan respek hukum dalam ketertiban publik. Selain itu, pemberdayaan demokrasi tak hanya dengan adanya multiparpol, pemilu yang reguler, pers yang bebas dan independen, dan civil society yang kuat. Pemberdayaan dan pendalaman demokrasi juga tak bisa taken for granted; sebaliknya, harus disemaikan melalui pendidikan kewargaan (civic education) atau pendidikan demokrasi atau pendidikan kewarganegaraan (citizenship education). Bila itu dapat dilakukan, maka demokrasi dapat diperkuat sebagai integrasi bangsa dan negara.
Konteks demokrasi di ranah lokal misalnya, lebih banyak diwarnai sejumlah euforia rapuh, antara lain; pertama, euforia demokrasi elektoral. Masyarakat Indonesia tengah dilanda demam pesta demokrasi elektoral. Sehingga kesan yang muncul demokrasi hanya terfokus pada pemilihan, pesta politik yang kompetisi, sensasi, mobilisasi, money politics, intrik, caci-maki, perdukunan, dan seterusnya.
Kedua, euforia semangat kedaerahan (nativisme). Fakta yang berkembang setiap daerah masih menggelorakan isu "putera daerah" ketika dihadapkan pada pemilihan pilkada. Adanya sebagian masyarakat lokal yang masih lantang menentang kehadiran calon-calon yang bukan putera daerah untuk menduduki jabatan pilkada. Meski istilah putera daerah tidak mempunyai autentisitas yang kuat, karena istilah itu cenderung hanya sebagai paspor politik untuk menjustifikasi kedudukan seseorang, tanpa melihat visi dan kualifikasinya.
Ketiga, euforia parlemen lokal. Dalam UU No. 22/1999, DPRD sangat powerful dibandingkan dengan kepala daerah, sehingga menjadi modal politik untuk memainkan check and balance dengan baik di hadapan kepala daerah dengan tujuan pemerintahan daerah bisa berjalan secara bertanggung jawab, transparan dan responsif. Tetapi, DPRD yang kuat justru menimbulkan banyak persoalan baru: DPRD menjadi oligarki dengan berkapasitas rendah, tidak bertanggung jawab, dan kurang peka pada aspirasi rakyat.
Keempat, euforia kepialangan politik. Adanya otonomi daerah telah memberi kesempatan terbuka bagi lahirnya aktor-aktor dan petualang politik baru. Kelima, euforia protes sosial atau pembangkangan sipil. Ketika rezim orde baru jatuh 1998, protes sosial mengalami perluasan dengan mengusung senjata reformasi politik yang tiada lain merupakan kekuatan alternatif bagi civil society guna melawan penguasa. Namun perlu diingat, bahwa protes sosial yang terjadi di Indonesia lebih bersifat sesaat atau partisipasi ad hoc yang hanya sangat efektif untuk menjatuhkan penguasa otoriter bermasalah, dan tak efektif untuk membangun demokrasi lokal.
Lima konteks tadi merupakan sebuah ilustrasi buram tentang demokrasi lokal, di saat euforia dalam proses politik yang berlangsung dalam situasi darurat jangka pendek. Euforia jangka pendek tidak bakal membuahkan demokrasi lokal yang kokoh dan berkelanjutan, selain hanya membuahkan kekecewaan dan ketidakpercayaan. Euforia akan come and go berbarengan dengan pesta politik. Euforia akan berubah menjadi kekecewaan bila pesta sudah usai, tetapi dia akan datang lagi kalau pesta itu digelar kembali

0 comments: