BLT DAN KEMANDIRIAN

NARASUMBER...KANG EDI JUSUF...
HAMPIR dapat dipastikan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM akan segera dilakukan. Dengan demikian, untuk kedua kalinya pemerintah menyalurkan dana BLT kepada keluarga miskin. BLT pertama disalurkan Oktober 2005-2006.
Deputi Kemeneg PPN/Bappenas Bidang Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan Bambang Widianto mengatakan, dana sebesar Rp 35 triliun akan disalurkan dalam bentuk BLT sebesar Rp 14,1 triliun. Sisanya akan disalurkan ke dalam bentuk lain seperti dukungan sarana dan prasarana usaha, antara lain subsidi pupuk, listrik untuk dunia usaha, dan kredit UMKM.
Dana BLT yang akan disalurkan pemerintah rencananya akan tetap menggunakan metode sejenis yakni data BLT pada 2005. Hal ini tentunya mengundang kekhawatiran sejumlah pihak karena data yang digunakan waktu itu diragukan keakuratannya sehingga akan memunculkan gejolak sosial baru akibat kompensasi BBM yang salah sasaran.
Rupanya pemerintah lupa, konsep kompensasi BLT tahun 2005 nyata-nyata telah menimbulkan konflik sosial di ranah komunitas rakyat miskin. Bahkan, pemerintah cenderung menyederhanakan definisi angka kemiskinan dan tidak memisahkan antara dampak kenaikan langsung masyarakat miskin atas kenaikan harga BBM dengan ekspektasi pasar yang memberi kontribusi kenaikan harga barang BBM. Padahal, kedua hal tersebut tidak hanya akan menimpa kelompok miskin, tetapi juga hampir miskin yang rawan konflik sosial.
Dari berbagai data analisis kuantitatif, jumlah orang miskin baru akibat kenaikan BBM ini mencapai 19,01 juta jiwa (total orang miskin mencapai 56,6 juta jiwa), pengangguran terbuka baru mencapai 18,61 juta jiwa (total penganggur terbuka mencapai 29,61 juta), dan tambahan kenaikan harga barang mencapai 26,94%. Jadi, program BLT yang dapat dikatakan merupakan program kompensasi utama pemerintah, rasanya tak akan mampu lagi secara efektif mengatasi dahsyatnya dampak tersebut.
Selain itu, pemerintah hanya menggunakan beberapa variabel statistik tertentu seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan realisasi investasi yang dijadikan tolok ukur keberhasilan kinerja ekonomi pemerintah. Sementara variabel lain seperti ukuran daya beli orang miskin di kota sebesar Rp 175 ribu dan desa Rp 150 ribu diabaikan. Padahal, dengan nilai sebesar itu, apa yang mereka dapatkan untuk memenuhi kebutuhannya.
Melihat kondisi tersebut, kentara bahwa tim ekonomi nasional tak begitu siap mengimplementasikan kebijakan BLT plus tahun ini yang berpotensi tidak tepat sasaran dalam penyalurannya. Artinya, konsep BLT yang ada dan berlaku temporer itu tak memungkinkan dapat menanggulangi pengangguran dan kemiskinan secara utuh.
BLT plus diberikan berupa uang sebesar Rp 100.000,00 per bulan selama 7 bulan untuk rumah tangga miskin (RTM). Kecuali itu, juga bantuan komoditas pangan berupa minyak goreng, beras, dan gula. Tentunya jumlah itu jauh dari cukup. Bahkan, nyaris tidak berarti apa-apa apabila diperhitungkan dengan tingkat inflasi yang terjadi.
Pemerintah tak menggambarkan bagaimana angka kemiskinan tambahan muncul menyusul kenaikan harga barang setelah para pebisnis tahu rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Bagi masyarakat miskin perkotaan, tekanan itu masih akan ditambah naiknya biaya transportasi yang akan berkisar pada 30%-40%. Belum lagi naiknya biaya pendidikan dan biaya sosial lainnya. Artinya, kelompok yang tadinya berada di atas dan hampir berada di garis kemiskinan oleh rencana pemerintah itu, kini masuk kategori di bawah kemiskinan. Dengan demikian, angka kemiskinan sebesar 8,55% itu sangat mungkin meningkat, tidak seperti perkiraan optimistis pemerintah bahwa angka kemiskinan cenderung menurun.
Akar persoalan subsidi BBM sebenarnya adalah rendahnya daya beli sebagian besar masyarakat. Hakikat masalah subsidi BBM di tanah air sebenarnya tidak lain adalah masalah kemiskinan itu sendiri. Masalah ini dan solusinya sebenarnya sudah lebih dari satu dekade dipahami betul oleh pemerintah, khususnya otoritas sektor energi, yaitu adanya kesalahan ketika menyubsidi harga produk BBM dan yang benar adalah ketika menyubsidi orang (yang berhak menerima) secara langsung.
Kunci persoalan sesungguhnya adalah bagaimana memberlakukan harga BBM yang tak lagi disubsidi, tetapi tetap bisa memberikan subsidi (dalam bentuk jaminan sosial atau pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan) yang memadai kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkannya secara tepat sasaran. Sayangnya, pemerintah kurang kreatif dan inovatif dalam memberikan kompensasi program BLT yang hanya ditambah dengan kata plus, namun berkesan rakyat menjadi pengemis.
Subsidi BBM pada hakikatnya masih sebagian besar dinikmati oleh golongan masyarakat ekonomi menengah ke atas. Dengan demikian, yang perlu dipikirkan oleh pemerintah saat ini adalah bagaimana dari kenaikan BBM itu bisa memberikan kebijakan afirmatif atau keberpihakan kepada rakyat kecil agar mereka mampu memiliki daya tahan ekonomi dalam kurun waktu tertentu ke depan.
Di samping itu, tentu pemerintah juga harus punya komitmen untuk betul-betul membuat kebijakan penganggaran lebih efisien dan efektif yang harus ditunjukkan oleh semua jajaran, mulai pemerintah pusat, provinsi, sampai jajaran pemerintahan daerah. Dengan demikian, secara psikologis, beban ini tidak hanya ditanggung rakyat kecil, tetapi juga dapat menimbulkan empati pemerintah kepada masyarakat.
Melihat konteks BLT saat ini, ada persoalan besar yakni pemerintah harus memastikan dana sebesar Rp 100.000,00 per bulan/KK benar-benar sampai kepada masyarakat yang membutuhkan. Pastikan pula bahwa seluruh warga miskin bisa diberi akses seluas-luasnya untuk menerima dana BLT itu tanpa kecuali. BLT adalah persoalan rawan dan sensitif. Oleh karena itu, pelaksanaan, kontrol, dan evaluasi harus dilakukan setiap saat. Jika terjadi kelalaian atau keteledoran di lapangan sedikit saja, akibatnya bisa fatal. Taruhannya pun tidak main-main, yakni citra pemerintah dan bangsa Indonesia.
Distribusi BLT tahun ini memang memungkinkan untuk tidak tepat sasaran. Sebab, mengubah tingkat strata ekonomi masyarakat penerima BLT dari masyarakat miskin, sangat miskin, dan hampir miskin, menjadi mampu, tidak secepat yang dikira. Artinya, data kemiskinan tetap harus disempurnakan sehingga penyimpangan dapat diminimalisasi dan ada jaminan bahwa BLT itu efektif diterima rakyat miskin.
Perlu dipikirkan pula oleh pemerintah bahwa program yang sifatnya sesaat, tidak akan mampu mendidik rakyat secara berkelanjutan dan program tersebut tidak akan pernah menjadikan rakyat mandiri, melainkan terus mengalami ketergantungan pada bantuan pemerintah. Seharusnya pemerintah lebih memikirkan bagaimana rakyat dapat menyambung hidup pascakenaikan harga BBM ini.
Solusi yang perlu dikembangkan jauh lebih baik melalui pengembangan usaha kecil menengah, lapangan kerja padat karya ketimbang membagi-bagikan duit. Selain itu, pemerintah perlu segera membuat program yang lebih permanen selain program BLT. Program permanen itu setidaknya membuka peluang kerja bagi masyarakat. Idealnya, program yang sudah ada dapat berjalan setelah tujuh bulan batas BLT. Lebih penting lagi, ada satu kebijakan ekonomi ke depan yang dapat memacu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Hal ini perlu benar-benar dirumuskan secara komprehensif dan ditetapkan dengan peraturan yang tegas dan pasti. ***

0 comments: