MENGAWAL DEMOKRASI

Di antara buah reformasi yang dapat dinikmati bangsa ini tentu saja adanya pemilihan umum yang digelar secara berkala setiap lima tahun. Dengan itu, pertanyaannya, apakah Indonesia telah mencapai apa yang disebut Jack Snyder sebagai "negara yang demokrasinya matang" (mature democracies).
Ada tiga mistar atau parameter yang bisa digunakan untuk menjawabnya. Pertama, sejumlah sarjana menggunakan rumus "dua kali pergantian kekuasaan" untuk menandai konsolidasi demokrasi. Demokrasi sudah terkonsolidasi jika kekuasaan sudah dua kali pindah melalui proses pemilihan umum yang luber dan jurdil.
Kedua, ada pula yang mengatakan demokrasi sudah terkonsolidasi apabila sistem ini merupakan "permainan satu-satunya". Itu berarti tak ada lagi jalan bagi parpol atau kelompok untuk berkuasa selain memenangi pemilihan umum yang luber dan jurdil.
Ketiga, demokrasi telah matang diukur dari sejauh mana suatu negara telah menunjukkan ciri yang bersifat kelembagaan dan hukum. Misalnya adanya politik yang bersifat kompetitif, pemilihan umum yang tetap, partisipasi yang luas, pembatasan kekuasaan eksekutif, kebebasan berbicara, dan penghormatan terhadap kebebasan sipil, termasuk hak-hak minoritas.
Apabila tiga mistar itu digunakan untuk membaca demokrasi Indonesia, harus dikatakan bangsa ini telah tiba pada demokrasi yang terkonsolidasi. Dalam sepuluh tahun reformasi, telah dua kali dilangsungkan pemilu luber dan jurdil. Pergantian kekuasaan berlangsung tertib dan teratur, tanpa kekerasan. Ini membedakan dengan pemilu dan pergantian (lebih tepatnya pelanggengan) kekuasaan di masa Soeharto. Tak ada lagi apa yang disebut kudeta, apalagi "kudeta merangkak" seperti pernah terjadi di balik pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, tahun 1966 silam.
Pada mistar ketiga pun, khususnya poin pembatasan kekuasaan eksekutif, bangsa ini melakukannya. Pendulumnya amendemen UUD 1945 yang berlangsung sepanjang 1999-2002. Parlemen, khususnya DPR punya kekuasaan cukup besar di hadapan eksekutif, pemerintah. Bahkan, seturut dengan independensi Bank Indonesia, DPR punya wewenang menolak calon gubernur bank sentral yang diajukan pemerintah. Sebaliknya, presiden tak punya hak veto untuk menangkis politisasi parlemen terhadap rencana kebijakan yang diajukannya. Pokok kata, setiap kebijakan yang hendak diambil pemerintah harus mendapat persetujuan DPR.
Satu sisi ini bermanfaat, sebab DPR hakikatnya lembaga representasi rakyat atau wakil rakyat. Tapi di sisi lain, "penambahan kekuasaan" kepada DPR tanpa sadar telah mengantarkan bangsa ini ke sistem "eksekutif parlementer". Sebuah sistem pemerintahan di mana eksekutif dikendalikan parlemen. Praktik kekuasaan sepuluh tahun terakhir menegaskan itu, sekalipun sistem yang termaktub dalam konstitusi kita adalah eksekutif nonparlementer atau eksekutif tetap (presidensial). Dampak ikutannya, pemerintahan sulit sekali berjalan secara efektif lantaran harus sering berurusan dengan parlemen. Wajah demokrasi Indonesia satu dasawarsa terakhir tak ubahnya "kuasi demokrasi parlementer" 1950-an.
Parlemen dalam beberapa hal adikuat di hadapan pemerintah. Kendati presiden merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan, dalam praktik sering kali wapres bertindak sebagai kepala pemerintahan (mirip perdana menteri dalam sistem parlementer), sedangkan presiden berperan sebagai kepala negara. Wapres —yang notabene pemimpin parpol pemilik kursi terbesar di DPR— lebih banyak berhasil mengerem laju politisasi dan mendapat dukungan DPR. Sedangkan Partai Demokrat yang menyokong presiden belum selihai Partai Golkar dalam menggalang dukungan di DPR.
Sebaliknya Golkar tidak selalu mem-back up kebijakan presiden —terlebih lagi jika kebijakan itu tak memperoleh lampu hijau sang wapres. Kendati presiden merangkul anggota kabinet dari pelbagai parpol, presiden tidak otomatis memperoleh dukungan parpol itu di DPR. Inilah runyamnya, untuk tak mengatakan anomali sistem demokrasi presidensial di negeri kita. Presiden (dan wapres) yang menangguk legitimasi tinggi rakyat lewat pemilu langsung, tersandera parpol dalam lembaga perwakilan.
Pelajaran yang bisa dipetik. Sistem multipartai gemuk —yang dianut sejak 1999 lalu— tidak cocok dengan sistem presidensial yang tertuang dalam konstitusi. Anehnya, penataan sistem kepartaian di negeri ini berjalan seolah tanpa arah yang jelas. Mari membuka almanak politik sepuluh tahun terakhir. Pada Pemilu 1999, ada 48 parpol berpartisipasi dalam pemilu yang menggunakan sistem proporsional tertutup. Pada Pemilu 2004 jumlah peserta menyusut jadi 24 parpol.
Pada Pemilu 2009 nanti, ketentuan electoral threshold (ET) sebesar 3% "ditangguhkan" sebagai kompensasi atas diadaptasinya ketentuan parliamentary threshold (PT) sebesar 3,5%. Sekurangnya 16 parpol sudah pasti ikut pemilu tahun depan, padahal jika ketentuan ET berlaku hanya tujuh parpol yang langsung lolos. Bayangkan saja, berapa jumlah parpol yang ikut Pemilu 2009. Sekarang saja 66 parpol (termasuk 16 parpol) sudah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum.
Nurcholish Madjid (alm.) tahun 2003 lalu pernah mengingatkan sistem kepartaian di tanah air masih parlementer. Ini dicirikan antara lain, parpol yang terkuat lebih berpeluang mendudukkan calonnya menjadi presiden. Kecenderungan ini jelas tak konsisten dengan sistem presidensial, yang seharusnya menetapkan presiden secara profesional.
Mumpung RUU Pilpres belum disahkan, seyogianya dimasukkan ketentuan koalisi antarparpol pengusung pasangan calon presiden/wapres dilakukan sebelum pemilu legislatif digelar. Cara ini berguna untuk memperkuat kohesi parpol-parpol pendukung pasangan calon presiden/wapres. Sehingga ketika pasangan calonnya memenangkan pilpres, kerja sama antarparpol itu berlanjut hingga di parlemen. Tidak seperti saat ini, parpol inti pendukung SBY-JK, justru tidak bisa berbuat banyak lantaran parpol yang dipimpin wapres bergabung sekian bulan pascapilpres.
Dus, koalisi sejak awal akan ikut mengarahkan siapa parpol pendukung pemerintah dan siapa pula parpol oposisi. Kita berkepentingan agar parpol pendukung presiden/wapres terpilih sudah terkonsolidasi jauh hari sebelum pemerintahan terbentuk. ***

0 comments: