KENAIKAN HARGA BBM & RAKYAT

PENYESUAIAN harga BBM akan berdampak besar bagi rakyat. Terlebih pemerintah belum mengambil langkah lain dalam menghadapi lonjakan harga minyak dunia yang sempat menyentuh level 120 dolar AS per barel. Kondisi tersebut, tentunya akan menambah beban APBN 2008.
Untuk meminimalisasi tekanan terhadap APBN pemerintah tampaknya perlu menjadwal ulang pembayaran utang termasuk di bank rekap yang sama sekali belum disentuh.
Perkara kenaikan BBM, DPR sendiri telah memberi isyarat dan bisa mengizinkan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi jika patokan Indonesia crude price (ICP) di atas USD 100 per barel atau kuota BBM bersubsidi di atas 37 juta kiloliter. Tentunya, isyarat tersebut sebagai langkah untuk mengamankan pelaksanaan APBN.
Sementara itu, Depkeu telah membuat kajian atas beberapa opsi untuk menyelamatkan APBN-Perubahan 2008 yang memiliki tingkat kepercayaan menurun dari pasar, di mana salah satunya adalah penyesuaian harga BBM bersubsidi sebesar 28,7% pada Juni 2008. Sebagai asumsi, harga BBM jenis premium akan naik dari Rp 4.500,00 menjadi Rp 6.000,00 per liter, solar dari Rp 4.300,00 menjadi Rp 5.500,00 per liter, dan minyak tanah dari Rp 2.000,00 menjadi Rp 2.300,00 per liter.
Melihat kecenderungan harga minyak yang terus bergolak, hendaknya pemerintah bisa mengupayakan langkah untuk menghindari kenaikan harga BBM yang disubsidi melalui berbagai cara. Namun, bila penyesuaian harga dijadikan opsi terakhir, harus ada upaya lain. Caranya dengan meminimalisasi dampaknya atau pemerintah harus bisa mencapai target produksi dan lifting minyak yang sangat memengaruhi sisi penerimaan APBN. Masalahnya, bila subsidi membengkak dan sisi penerimaan tidak tercapai dari lifting, akan timbul dampak ekonomi makro yang sangat serius.
Langkah lain yang bisa diambil pemerintah yakni menetapkan kebijakan pengendalian volume BBM bersubsidi, kebijakan harga BBM bersubsidi, dan kebijakan fiskal lain yang terkait dan juga memfokuskan penghematan subsidi BBM. Sebab, ketahanan APBN menjadi taruhan manajemen ekonomi makro Indonesia, yang bukan mustahil akan ada rekor lagi yaitu perubahan APBN lebih dari satu kali dalam satu tahun anggaran.
Antisipasi pemerintah dalam menghadapi gejolak tersebut sebenarnya sudah tepat dilakukan di saat fluktuasi harga minyak bumi dunia muncul dan pemerintah segera memperhitungkan angka rata-rata harga dalam ABPN dengan jangka waktu panjang. Apabila melihat struktur APBN 2008, sebenarnya sangat terbatas ruang gerak pemerintah dalam menangkal kondisi yang di luar perkiraan. Paling-paling dengan menaikkan sisi penerimaan atau menurunkan sisi pengeluaran. Meski peningkatan penerimaan rasanya kurang kurang realistis dalam kondisi perekonomian seperti saat ini. Peningkatan sektor pajak dan bea cukai, misalnya, akan sangat terbatas apabila pertumbuhan ekonominya berada pada kisaran 5-6%. Intensifikasi pajak berikut perbaikan administrasi mungkin bisa meningkatkan penerimaan tetapi tidak akan terlalu banyak apabila tidak diiringi.
Kebijakan pendalaman sektor keuangan (financial deepening) dalam mengantisipasi potensi gejolak ekonomi dalam negeri menjadi salah satu langkah penting yang perlu dilakukan pemerintah. Dalam hal ini, peran Bank Indonesia (BI) merealisasikan melalui penyusunan landasan hukum dalam pengambilan keputusan moneter, perbankan, dan fiskal. Mungkin, salah satunya dengan membentuk crisis management protocol (CMP) yang berfungsi memengaruhi berbagai kebijakan yang akan diambil otoritas moneter dan fiskal jika terjadi krisis.
Sebetulnya, meski secara resmi BBM bersubsidi belum dinaikkan, secara tidak langsung rakyat sudah merasakan imbasnya berupa kenaikan harga kebutuhan pokok yang disebabkan naiknya harga BBM industri. Oleh karena itu, pemerintah perlu diingatkan agar dalam membuat keputusan jangan hanya mengutamakan kepentingan politis. Namun harus mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi yang berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Untuk jangka panjang pemerintah seharusnya mempercepat realisasi penggunaan energi alternatif, pengganti BBM. Tujuannya untuk menutupi volume lifting minyak dalam negeri dan memperkecil kemungkinan langkanya BBM. Dalam konteks ini, yang dihadapi pemerintah tidak saja fluktuasi harga minyak mentah dunia, tetapi juga keadaan sosial-ekonomi masyarakat. Dengan demikian, tidak seharusnya pemerintah menjadikan rakyat sebagai objek untuk penyelesaian masalah ini.
Dari sisi kekhawatiran meningkatnya inflasi akibat pengaruh penyesuaian tersebut justru timbul dari meningkatnya harga barang-barang kebutuhan pokok. Boleh jadi kenaikan harga minyak di pasaran internasional memberi tekanan yang kuat pada peningkatan harga jual barang-barang impor dalam negeri sehingga memicu tingginya inflasi di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, laju inflasi selama bulan April 2008 mencapai 0,57%, dan jika pemerintah jadi menaikkan harga BBM, hal tersebut akan ada tambahan inflasi lebih dari 0,75% dengan asumsi kenaikan BBM sebesar 20%. Angka inflasi ini lebih rendah dari Maret 2008 yang mencapai 0,95%. Sementara itu, tingkat inflasi tahun kalender (Januari-Maret 2008) mencapai 4,01% dan inflasi tahunan (year on year) sebesar 8,96%.
Walaupun, Dana Moneter Internasional (IMF) menilai bahwa Indonesia masih aman dan tahan dari guncangan krisis finansial global. Konkretnya, kreditor multilateral itu memprediksi, tahun ini pertumbuhan ekonomi nasional bisa mencapai 6,1%. Optimisme tersebut muncul karena IMF melihat permintaan domestik masih tinggi dan itulah yang membedakan Indonesia dari sejumlah negara Asia lainnya. IMF melihat itu sebagai situasi moneter yang umum terjadi di negara-negara lain di dunia. Agar momentum ini bisa terjaga, IMF memberi resep kebijakan moneter ketat melalui peningkatan suku bunga.
Terlepas dari analisis optimistis tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh mana pemerintah bisa percaya diri dengan sejumlah target makroekonomi yang diasumsikan.
Sekarang ini tinggal menunggu Inpres pembatasan konsumsi BBM dan energi yang akan segera dikeluarkan pemerintah sebagai respons kenaikan harga minyak mentah dunia. Meski tidak ada kebijakan yang tidak berisiko, mungkin hal itu yang harus diambil pemerintah walau terasa pahit bagi masyarakat.***

0 comments: