LANGKANYA PEMIMPIN KESATRIA

Sikap kesatria seorang pemimpin terukur oleh sejauh mana ia rela mengorbankan kepentingan diri sendiri demi kepentingan hamparan luas warga dan rakyat. Sikap kesatria itu juga terukur oleh sejauh mana ia memikirkan dan menomorsatukan kepentingan hamparan luas warga dan rakyat melampaui kepentingan diri sendiri.
Pemimpin kesatria kini makin langka. Pemimpin di negeri ini sekarang tidak segan-segan mengutamakan kepentingan sendiri, tanpa rasa risi. Ia bahkan dapat melakukan semua itu dengan dalih mempertahankan atau membela kebenaran. Oleh karena itu, di negeri ini sekarang tidak jarang terjadi perpecahan partai politik atau organisasi yang kemudian melahirkan kepengurusan ganda, memunculkan kepengurusan tandingan, dan sebagainya--ini tentu sedemikian absurd.
Tidakkah disadari betapa di balik semua pernyataan tentang keabsahan tiap-tiap kepengurusan yang berseteru dalam satu kapal itu bersarang kepentingan masing-masing pemimpin? Absurditas kepengurusan ganda dan kepengurusan tandingan mengkristal dalam pengutamaan kepentingan sang pemimpin melampaui kepentingan warga dan rakyat luas.
Perseteruan antarpemimpin hanyalah bukti nyata kegetolan masing-masing pemimpin untuk lebih memperjuangkan kepentingan diri sendiri ketimbang kepentingan warga dan rakyat. Absurditas itu kian mencolok karena perilaku absurd itu dilakukan tanpa rasa bersalah, tanpa rasa risi, bahkan tidak jarang perilaku itu dilengkapi dengan tindakan gugat-menggugat di pengadilan, seolah mereka mau memeragakan perilaku taat hukum dalam tatanan demokrasi.
Kita pernah memiliki beberapa pemimpin kesatria, yang jelas benar mengutamakan kepentingan seluruh bangsa ketimbang kepentingan diri sendiri. Setidaknya ada dua contoh monumental. Pertama adalah Bung Hatta dan kedua adalah Bung Karno. Ketika Bung Hatta menjabat wakil presiden mendampingi Bung Karno yang waktu itu menjabat Presiden Republik Indonesia, terjadi ketidakcocokan antara kedua pemimpin itu.
Khalayak luas boleh berpendapat sendiri-sendiri tentang siapa yang benar dan siapa yang salah dalam perseteruan antara kedua pemimpin itu. Di tengah perguliran perjalanan ketidakcocokan antara kedua pemimpin itu, kita menyaksikan sikap kesatria Bung Hatta. Demi kesatuan bangsa Indonesia, Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden dan menanggung seluruh perseteruannya dengan Bung Karno seorang diri.
Kendatipun Bung Hatta memiliki banyak pendukung dan simpatisan, ia tidak mengajak dan melibatkan hamparan warga Indonesia untuk mendukung dirinya berseteru dengan Bung Karno. Bung Hatta kembali menjadi warga biasa di tengah rakyat, mempersilakan Bung Karno memimpin negeri ini, dan tetap menjaga serta memelihara hubungan pribadi yang baik dengan Bung Karno, serta tetap menghormati Bung Karno sebagai pemimpin tertinggi Republik Indonesia.
Bung Karno pun telah membuktikan diri sebagai pemimpin kesatria yang pernah dimiliki bangsa ini. Di tengah konflik antarkekuatan politik dan militer di tahun 1965 dan seterusnya, Bung Karno memilih menanggung segala kekerasan politis, psikologis, bahkan fisik yang menimpa dirinya seorang diri. Dia lebih mencintai kehidupan seluruh bangsa Indonesia daripada dirinya sendiri. Sebagai pemimpin karismatik, tentu Bung Karno memiliki kemampuan untuk menggerakkan massa yang mendukung atau bersimpati kepadanya untuk melawan kekuatan politik dan militer yang mengimpitnya.
Namun, Bung Karno benar-benar lebih memilih menanggung segala kekerasan yang menimpanya seorang diri, bahkan sampai dia wafat dalam kesendirian yang sangat sepi. Bung Karno adalah pemimpin kesatria. Dia tidak ingin mengorbankan kesatuan bangsa Indonesia hanya untuk ambisi pribadi. Dia tidak ingin bangsa Indonesia terpecah belah karena sebagian dari hamparan rakyat Indonesia yang mendukung dan bersimpati kepadanya berhadap-hadapan dengan sebagian dari hamparan rakyat Indonesia yang melawannya.
Kini bangsa ini hidup di tengah realitas makin langkanya pemimpin kesatria. Langkanya pemimpin kesatria tidak hanya dirasakan pada perspektif kepemimpinan bangsa dan negara. Hal itu bahkan juga terasakan pada tingkat-tingkat kepemimpinan yang lebih rendah, bahkan sampai yang paling rendah. Salah satu manifestasi ironis dari makin langkanya pemimpin kesatria di negeri ini adalah lambannya kaderisasi pengajar di perguruan tinggi-perguruan tinggi.
Banyak guru besar dan pengajar senior yang kurang rajin melakukan kaderisasi dalam rangka melahirkan guru-guru besar baru dan pengajar-pengajar baru yang lebih muda dan lebih bermutu. Padahal, pemangku kepentingan utama perguruan tinggi, yaitu hamparan mahasiswa-mahasiswi, sangat memerlukan pendidikan dan pelatihan yang makin bermutu, yang tidak mungkin diejawantahkan hanya oleh mereka yang kinerja serta kualitas akademik, riset, dan hubungan internasionalnya tidak bertumbuh kembang lagi.
Ada dua faktor psikoindividual yang keberadaannya diperlukan untuk kemunculan pemimpin kesatria. Pertama, rasa percaya diri yang matang dan mantap, yang telah bertumbuh kembang karena seorang pemimpin memang selama masa kehidupannya sebagai pemimpin telah terus-menerus menumbuhkembangkan kinerja dan kualitasnya sebagai pemimpin.
Kedua, keberhasilan mentransendensi (mengatasi dan melampaui) daya tarik uang dan kekuasaan, yang terjadi karena sang pemimpin dapat menghayati dan memaknai uang dan kekuasaan sebagai peranti-peranti yang dipinjamkan oleh khalayak luas pemangku kepentingan (rakyat, bangsa, mahasiswa, dan sebagainya) untuk menumbuhkembangkan kesejahteraan para pemangku kepentingan itu. Hal ini pun dapat terjadi hanya jika sang pemimpin selama dirinya menjabat pemimpin terus-menerus menumbuhkembangkan kinerja dan kualitasnya sebagai pemimpin.
Semoga para pemimpin yang akan terpilih melalui pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden serta wakil presiden 2009 adalah pemimpin-pemimpin kesatria, bukan hanya pribadi-pribadi yang mau menggunakan kekuasaan dan uang untuk kepentingan diri sendiri. Rakyat perlu jeli, hati-hati, penuh pertimbangan, rasional, dan sudi serta cermat meneliti bukti-bukti objektif dalam membuat pilihan.***

0 comments: