PEMUDA,GENERASI "BINGUNG"

Ciptakan Indonesian Dream di Kalangan Pemuda

PEJALAN kaki melintas di depan coretan gambar yang mengotori dinding bangunan di Jln. Tamblong Kota Bandung, Rabu (14/5). Banyaknya dinding kota yang dikotori anak-anak muda yang ingin mendapatkan "pengakuan", memperlihatkan kondisi yang terjadi saat ini di mana anak-anak Indonesia tidak mengetahui apa yang harus dilakukan atau apa yang hendak dicapai. Mereka seperti generasi yang kebingungan.* ADE BAYU INDRA
Nasionalisme hanya kendaraan yang kita pakai saat ini, untuk memerdekakan diri.
Begitulah penggalan pernyataan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) mengenai arti nasionalisme. Pada saat itu, ia berjuang untuk memerdekakan bangsa ini dengan konsep yang ganjil mengenai nasionalisme.
Franz Magnis Suseno, Guru Besar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menegaskan bahwa kebangsaan Indonesia bukan fakta alami. Rakyat dari Sabang sampai Merauke tumbuh menjadi satu bangsa karena memiliki kesamaan pengalaman dalam penjajahan. Persamaan tersebut mendorong tekad untuk bersama-sama mengusir penjajah dan juga membangun negara yang sejahtera dan adil. "Yang secara alami dimiliki negara ini adalah pluralitas dan perbedaan-perbedaan," ujarnya.
Oleh karena itu, menurutnya nasionalisme Indonesia bersifat etis dan humanis bukan kedaerahan (chauvinis). Sebab, dasar dari nasionalisme Indonesia bukanlah kesatuan bahasa dan budaya, seperti bangsa Polandia atau Korea, melainkan karena tekad untuk hidup merdeka. "Yang berarti, setiap warga bangsa dapat hidup sesuai dengan cita-citanya, identitas kultural dan agamanya, dengan gaya hidup serta adatnya," tutur Franz menjelaskan.
Ia mengatakan, karena nasionalisme Indonesia bersifat etis dan humanis maka rasa kebangsaan tersebut perlu terus-menerus diemong dan dipelihara baik-baik. "Karena rasa itu bisa sedikit demi sedikit menghilang," ucapnya.
"Indonesian Dream"
Iip Dzukifli, peneliti dan penulis buku Oto Iskandar Di Nata, menjelaskan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia merupakan sesuatu hal yang belum selesai karena ada diskontinuitas perjuangan dari sebelum merdeka dan setelah merdeka.
Ia mengatakan, saat ini belum ada konteks yang jelas mengenai arti nasionalisme itu sendiri sehingga yang terjadi saat ini anak-anak Indonesia tidak mengetahui apa yang harus dilakukan atau apa yang hendak ia dicapai. Mereka seperti generasi yang kebingungan. "Karena itulah realitas yang ada sekarang. Kita selalu bertengkar entah untuk alasan apa," tuturnya.
Oleh karena itu, ia mengungkapkan, jika nasionalisme dikatakan sebagai mimpi bersama seluruh suku-suku yang ada maka nasionalisme Indonesia harus dibangun pada pemahaman sejarah dan budaya lokal hingga setiap orang memahami kebudayaan dengan baik. "Tugas kita sebagai orang Sunda harus mendalami kesundaan itu. Jika kita memahami budaya Sunda dengan baik maka kita akan memahami Indonesia dengan baik juga," ujarnya.
Selain itu, Iip mengatakan, sampai saat ini Indonesia belum memiliki mimpi bersama seluruh komponen bangsa ini atau yang bisa disebut sebagai Indonesian Dream. Hingga yang terjadi timbul kebingungan-kebingungan di generasi muda Indonesia. "Saya anak Indonesia tapi saya tidak tahu mau melakukan apa dan untuk apa," ucapnya mencontohkan.
Dengan adanya momen 100 Tahun Kebangkitan Nasional ia mengatakan jika negara ini belum memiliki Indonesian Dream maka sudah seharusnya setiap elemen masyarakat melakukan sesuatu. Salah satunya dengan menyepakati bersama apa yang hendak dicapai dan dilakukan bangsa ini. "Tujuannya agar setiap anak Indonesia memiliki target di dalam hidupnya," ujar Iip.
Ia mengatakan hal ini bisa dilakukan dengan membangunnya dari masing-masing individu. Secara sederhana setiap anak mencoba melacak orang-orang di keluarganya yang dianggap pahlawan atau dianggap ideal.
Kemudian si anak mencari tahu apa kelebihan dari orang tersebut dan mencoba memahami apa yang menjadi tujuan dari orang yang dimaksudkan. Walaupun akan menemukan orang yang berbeda-beda, pada akhirnya setiap anak akan sampai pada kesadaran yang sama mengenai untuk apakah negara ini ada. "Sehingga anak Indonesia memiliki hal yang ingin ia raih dan miliki dalam hidup, apa yang dikejar, dan pengabdian seperti apa yang bisa diberikan untuk negara," ujarnya.
Tantangan
Setelah 100 Tahun Kebangkitan Nasional, Franz mengatakan, nasionalisme bangsa ini ditantang oleh beberapa hal yaitu globalisasi, kepicikan daerah, konsumentisme hedonistik, dan eksklusivisme keagamaan, yang apabila tidak dijawab secara tepat dapat tumbuh menjadi masalah yang harus dihadapi. Perkembangan globalisasi terutama dalam bidang lalu lintas, komunikasi berjarak, dan ekonomi tak bisa kita hindari. Satu sama lain dari masyarakat dunia saling bergantung. Apa yang terjadi di suatu negara, akan turut memengaruhi keadaan negara lainnya.
Kepicikan perasaan kedaerahan pun turut menantang nasionalisme. Otonomi daerah pada saat sekarang merangsang para putra dan putri daerah untuk menguasai semua tempat yang menghasilkan. "Hanya, yang menjadi masalah adalah saat penguasaan tempat tersebut bukan untuk memajukan daerah melainkan untuk kepentingan pribadi," kata Franz.
Selain itu, ia mengatakan, kepicikan tersebut dapat menimbulkan diskriminasi terhadap warga pendatang, warga yang bukan putra putri daerah. "Pembedaan tersebut dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa ini. Oleh karena itu, kepicikan perasaan kedaerahan ini harus bisa diatasi," ucapnya.
Namun, selain kedua tantangan tersebut, Franz mengatakan budaya konsumsi hedonis juga melanda bangsa ini. Orang-orang membeli sesuatu bukan karena ia membutuhkannya namun karena ia suka. Saat sekarang, orang menganggap belanja sebagai suatu bentuk rekreasi dan terus berkembang pada keinginan akan barang-barang mahal tanpa dapat ditahan. "Fokus konsumsi ini berbahaya bagi kehidupan sosial masyarakat," ujarnya.
Tantangan terakhir adalah mengenai eksklusivisme keagamaan, yaitu gerakan-gerakan yang hendak memaksakan paham mereka mengenai suatu agama (mereka) kepada masyarakat. Hal ini dapat menjadi ancaman karena adanya pemaksaan keseragaman agama terhadap masyarakat yang sejak awal majemuk dan berbeda-beda. Esklusivisme tidak bersedia mengakui kekhasan adat, kebiasaan, budaya, dan pola keagamaan setiap komponen. "Dikhawatirkan hal ini dapat mengancam kebebasan setiap orang untuk mengikuti suara hati," tuturnya menjelaskan.
Sementara itu, Ign. Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat Universitas Parahyangan mengatakan bahwa pada saat sekarang warga negara ini mengalami suatu kebingungan. Setiap orang dipaksa mengandalkan dirinya sendiri untuk menilai sesuatu. Sementara disisi lain, ia tidak memiliki pedoman pribadi untuk menilai. "Sehingga yang terjadi, timbullah individu-individu tanpa kepribadian yang beretos kerja rendah," ujarnya.
Oleh karena itu, Bambang mengatakan, dengan adanya momen 100 Tahun Kebangkitan Nasional ini agar seluruh warga Indonesia belajar mandiri, berani berpikir kritis dan membentuk diri sendiri sehingga akan lahir individu -individu yang matang, lebih kreatif, dan kritis pola pikirnya.

0 comments: