MENDAMBA MULTI PARTAI SEDERHANA

"Libido" yang demikian tinggi pada sejumlah tokoh untuk mendirikan parpol berpengaruh besar bagi penataan sistem kepartaian. Tiga kali pemilu di masa reformasi agaknya belum akan membuat rakyat ini menikmati "madu" demokrasi. Negeri ini terbelenggu bendera parpol. Jadi, apa yang bisa diharapkan dari 69 parpol yang berhasrat besar ikut Pemilu 2009?
Sulit menebak logika yang digunakan sejumlah tokoh di balik bertaburannya partai politik di tanah air. Selepas Soeharto lengser, euforia tak terbendung, mendirikan partai bisa dimengerti. Namun, reformasi sebentar lagi berusia satu dasawarsa. Mengapa sejumlah tokoh masih ngotot mendirikan partai baru dan interesan ikut pemilu?
Anomali. Barangkali itu kata yang paling pas mewakili kehidupan parpol di tanah air. Pertama, dari 69 parpol yang mengambil formulir ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), tak ada perbedaan signifikan dalam hal ideologi. Peta ideologi Arend Lijphart yang menyebutkan garis ideologi di Indonesia merintang dari kiri (nasionalis) ke kanan (Islam) masih menjadi pola. Nyaris seluruh parpol itu dapat dikategorikan sebagai partai nasionalis, partai nasionalis-Islam (partai tengah), atau partai Islam.
Pasca-Perang Dingin, hal-hal yang terkait dengan ideologi pun semakin pudar. Masyarakat tak lagi memikirkan ideologi, secara langsung maupun tak langsung. Masyarakat cenderung menggantikan ikatan tradisional (ideologi) dengan hal-hal yang lebih pragmatis, yaitu program kerja yang ditawarkan oleh kontestan (parpol). Kini terdapat tren di sejumlah negara yang memperlihatkan semakin meningkatnya proporsi nonpartisan dalam pemilihan umum.
Nonpartisan adalah sekelompok masyarakat yang tidak menjadi anggota atau mengikatkan diri secara ideologis dengan parpol tertentu (Marketing Politik, 2007). Dengan begitu, kelompok ini melihat pentingnya kemampuan dan kapasitas orang atau program kerja yang dicanangkan partai atau kandidat. Sayangnya, mayoritas parpol yang ada masih bertumpu pada ideologi dan minim tawaran-tawaran baru yang bisa menerbitkan simpati rakyat.
Kedua, banyak sekali parpol yang sesungguhnya "wajah lama". Ketiga, kemunculan parpol lama dengan "wajah baru" (baca: ganti nama atau pecahan parpol induk) tak menghiraukan basis konstituen. Aneh bin ajaib, barisan parpol yang tak mendapat dukungan pada Pemilu 2004 lalu, saat ini kembali interesan ikut Pemilu 2009. Padahal pengalaman 1999 dan 2004 telah mengajarkan, basis tradisional masih milik partai mapan, yakni parpol warisan Orde Baru dan sejumlah parpol dengan tokoh mengakar.
Dan keempat, mayoritas parpol --bahkan yang memperoleh kursi signifikan di DPR-- belum mampu menunjukkan diri sebagai parpol berskala nasional. PKB masih lebih tampak sebagai partai lokal di Jawa Timur. PAN yang besar di Yogyakarta atau Sumatra Barat. Demikian pula dengan Partai Damai Sejahtera (PDS). Dari yang sedikit itu, baru Partai Golkar, PDIP, dan PPP yang layak disebut sebagai partai nasional.
Tentu "libido" yang tinggi untuk mendirikan parpol itu berpengaruh besar bagi penataan sistem kepartaian. Dibutuhkan waktu lama untuk menyaksikan sistem multipartai yang sederhana. Lebih-lebih parlemen juga tak punya cetak biru sistem kepartaian yang hendak dituju bangsa ini. Bayangkan saja, ketentuan peralihan dalam UU 10/2008 tentang Pemilu, menyatakan seluruh parpol yang memperoleh kursi di DPR bisa langsung berpartisipasi di Pemilu 2009 mendatang! Ketentuan peralihan ini sebagai kompensasi diterapkannya parliamentary threshold pemilu tahun depan.
Apabila parlemen punya cetak biru, hanya tujuh parpol yang lolos tanpa verifikasi KPU pada Pemilu 2009. Namun, ketentuan peralihan itu membengkakkan peserta lolos otomatis, menjadi 17 parpol. Ini belum ditambah parpol baru yang kemungkinan bakal lolos verifikasi KPU! Jadi, hingga tahun depan --pemilu ketiga selepas rezim otoriter--- bangsa ini tak mungkin menyaksikan sistem multipartai sederhana.
Berarti, massa pemilih masih akan repot menentukan parpol yang akan mewakili mereka di lembaga perwakilan (legislatif). Dan bisa dibayangkan, seperti apa surat suara Pemilu Legislatif nanti jika pesertanya lebih dari 24. Sekarang saja, KPU harus memverifikasi setidaknya 52 parpol di luar 17 parpol yang sudah pasti ikut Pemilu 2009.
Untuk diverifikasi KPU, ada sejumlah dokumen yang harus dipenuhi. Yakni, status badan hukum, keputusan pengurus pusat parpol tentang pengurus tingkat provinsi dan pengurus tingkat kabupaten/kota.
Kemudian surat keterangan dari pengurus pusat parpol tentang kantor dan alamat tetap pengurus tingkat pusat sampai tingkat kabupaten/kota, surat keterangan dari pengurus pusat parpol tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, surat keterangan mengenai perolehan kursi partai politik di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari KPU.
Dari 69 parpol tadi, ada lima parpol yang diklaim oleh lebih dari satu kepengurusan adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB, 2 versi), Partai Nasional Indonesia Marhaenis (PNI Marhaenis, 3 versi), Partai Damai Sejahtera (PDS, 2 versi), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI, 2 versi), dan Partai Pro Republik (2 versi). Sementara Partai Demokrasi Indonesia (PDI) memiliki struktur kepengurusan sama dengan struktur kepengurusan salah satu versi PPDI.
Apabila "libido" mendirikan parpol ini tak kunjung menurun, terus terang saya pesimistis dengan kehidupan politik nasional. Sistem multipartai yang terlalu gemuk di negeri ini telah menyeret bangsa ini ke sistem parlementer. Padahal konstitusi kita menyatakan, negeri ini menganut sistem presidensial. Sementara itu, sistem presidensial tak pernah akan terwujud tanpa sistem kepartaian yang sederhana. Atau dengan kata lain, sistem presidensial kontras dengan sistem multipartai.
Sungguh saya takut sistem multipartai yang dianut negeri kita justru melembagakan oligarki. Jika itu yang terjadi, elite politiklah yang berkuasa. Dan rakyat. Ia hanya bisa berteriak ihwal demokrasi di jalanan, tanpa mampu memengaruhi kebijakan publik. Saya rindu keadaan di mana politik dilonggarkan menjadi sebentuk cara menyejahterakan rakyat. Dan itu tak selalu harus melalui parpol. Saya sangsi bangsa ini dapat memetiknya pada Pemilu 2009 nanti.***

0 comments: