MENYEDERHANAKAN PARPOL

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) bulan ini tengah melakukan tahap verifikasi partai politik hingga Juli mendatang. KPU, tentunya, akan lebih selektif melakukan verifikasi atas partai politik peserta Pemilu 2009. Secara terperinci, KPU menyebutkan bahwa melaksanakan verifikasi faktual di tingkat provinsi berlangsung mulai 2-9 Juni sedangkan di tingkat kabupaten/kota mulai 3-25 Juni mendatang.
Tentunya KPU harus lebih objektif dan selektif dalam memverifikasi partai politik. Dengan begitu, proses awal penyederhanaan jumlah partai politik benar-benar terwujud sehingga dapat menumbuhkan optimisme bangsa untuk menciptakan demokrasi yang efektif dan efisien. Selain itu, KPU harus bersikap profesional, netral, dan tegas dalam melakukan verifikasi atas partai politik yang akan bertarung dalam Pemilu 2009.
Terlepas dari bagaimana proses penyederhanaan partai politik dilakukan, harapannya adalah tercipta tatanan pemerintahan yang demokratis, efektif, dan efisien. Dalam konteks ini, negara yang menganut paham demokrasi mana pun, tak lepas dari ketegangan antara keinginan untuk memaksimalkan representasi aspirasi warga yang beragam dan keinginan menciptakan pemerintahan yang efisien dan efektif. Di samping sulitnya membangun sistem kepartaian yang sederhana secara maksimal dalam masyarakat yang heterogen.
Saling tarik antara kepentingan representasi dan efektivitas bisa dilihat dalam UU Politik yang baru. Secara eksplisit, perubahan sistem kepartaian yang dilakukan tiada lain untuk mendukung perwujudan multipartai sederhana (penyederhanaan). Bersamaan dengan itu, perubahan dilakukan dengan tetap menghormati keberagaman bangsa Indonesia (representasi). Dalam konteks demikian, semangat penyederhanaan sistem kepartaian akan lebih rasional.
Sementara itu, usulan agar electoral threshold atau ambang batas minimal perolehan suara partai pada Pemilu 2009 yang dibangun dinaikkan dari 3% menjadi 5%. Artinya, partai-partai yang mendapat suara di bawah 5% pada Pemilu 2009 tak diperkenankan lagi ikut Pemilu 2014. Pertanyaannya, apakah electoral threshold secara tak langsung akan mengurangi jumlah partai di DPR?
Berdasarkan kepada perolehan suara Pemilu 2004, hanya tujuh partai yang mendapat suara 5% atau lebih. Dengan demikian, electoral threshold membuka ruang bagi terbentuknya sistem kepartaian terfragmentasi ekstrem, yakni jumlah partai efektif di DPR kemungkinan lebih dari lima partai. Wacana politik yang berkembang itu muncul bahwa sistem kepartaian tidak terfragmentasi secara ekstrem, namun mengarah secara moderat. Konsekuensi logisnya, jumlah partai di DPR antara tiga sampai lima partai. Itu pun bila electoral threshold dinaikkan menjadi 10%? Tentunya semua itu akan menjadi persoalan politik baru, dan yang pasti akan ditentang oleh partai-partai yang memperoleh suara di bawah 10%.
Alternatif lain yang dibangun untuk penyederhanaan sistem kepartaian, adanya usulan dari sebagian elemen masyarakat yaitu mengubah sistem proportional representation (PR) seperti dianut di Indonesia sekarang, jadi sistem pluralitas (yang disebut sistem distrik). Umumnya di semua negara demokrasi, sistem pluralitas dari varian first past the post (FPTP) atau pluralitas sederhana dan varian block vote cukup membantu menyederhanakan sistem kepartaian dibandingkan dengan sistem PR dengan segala variannya.
Varian sederhana (FPTP dalam single member district) dari sistem pluralitas, jatah kursi yang diperebutkan di satu daerah pemilihan hanya satu. Oleh karena itu, hanya ada satu calon yang menang di daerah tersebut. Sementara calon-calon lain, dari partai yang sama maupun yang berbeda, tidak akan punya kursi di DPR dari daerah pemilihan tersebut. Menurut berbagai studi empiris, secara umum sistem ini cenderung menghasilkan dua hingga tiga partai saja yang punya kursi efektif di DPR.
Demikian juga dengan varian block vote partai dari sistem pluralitas yang diterapkan. Partai yang mendapat suara paling banyak mengambil semua kursi yang diperebutkan di daerah pemilihan itu. Akibatnya, hanya sedikit partai yang punya wakil dalam jumlah efektif di DPR. Jika semua itu memungkinkan, penyederhanaan sistem kepartaian akan terwujud. Tentunya, apa yang diusulkan untuk menaikkan electoral threshold menjadi 10%, dan perubahan sistem proportional representation menjadi sistem pluralitas memungkinkan mendapat perlawanan dari partai-partai yang mendapat suara sedikit di banyak daerah pemilihan.
Andai saja sistem pluralitas diterapkan dengan pola memekarkan sejumlah daerah pemilihan ataupun tidak dengan parameter data Pemilu 2004, sangat mungkin ada partai politik mayoritas duduk di DPR. Dengan demikian akan melahirkan sistem kepartaian yang lebih sederhana. Seandainya daerah pemilihan dimekarkan untuk mengakomodasi prinsip single member district dari sistem pluralitas, sehingga jumlah daerah sebanyak jumlah anggota DPR, maka cerita Pemilu 2004 tentunya sedikit berbeda. Ketika sistem pluralitas varian FPTP atau block vote partai ini dikombinasikan dengan undang-undang pemilihan presiden yang mengharuskan seorang calon presiden dicalonkan oleh partai politik, maka peluang lahirnya presiden dengan kekuatan politik dominan atau oposisi dominan di DPR akan lebih terbuka. Dengan begitu, akan terbentuk pemerintahan yang lebih efektif dan efisien karena eksekutif dan legislatif dikuasai oleh partai yang sama.
Sementara dalam sistem presidensial tentunya perlu dibangun sinergi antara sistem kepartaian, sistem pemilu, dan sistem pemerintahan. Sebuah sistem pemerintahan tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak didukung oleh sistem kepartaian dan sistem pemilu yang tepat. Sistem presidensial akan berjalan efektif dan produktif apabila didukung sistem kepartaian yang sederhana. Hal ini mengacu pada pengalaman berbagai negara yang menganut sistem presidensial seperti Amerika Serikat yang diikuti oleh sistem kepartaian yang sederhana.
Logikanya, jumlah partai politik yang tidak terlalu banyak ini akan mendorong tumbuhnya DPR yang tidak terlampau tinggi fragmentasi politiknya (jumlah fraksi lebih sedikit). Di samping itu dapat mendorong terjadinya proses koalisi yang lebih sederhana pula. Semakin banyak partai akan semakin menyulitkan proses koalisi, karena beragamnya visi maupun kepentingan.
Koalisi sederhana tersebut akan menghasilkan kekuatan mayoritas di parlemen sehingga lebih menjamin stabilitas dan efektivitas pemerintahan presidensial. Idealnya, dalam sistem presidensial kepartaiannya mengarah kepada partai yang memerintah dan partai yang tidak memerintah (oposisi), sehingga dapat menghindari terjadinya kompromi politik dalam relasi eksekutif dengan legislatif. Kalau konsistensi politik itu akan dibangun dengan sistem presidensial, perlu regulasi yang dapat mendukung ke arah penguatan sistem tersebut. Artinya, jumlah partai politik harus dikurangi.
Penyederhanaan sistem kepartaian tentunya bagian penting dalam memperkuat sistem presidensial. Dengan begitu, perlu dilakukan secara alamiah dan demokratis. Tidak seperti ketika Orde Baru, penyederhanaan partai dilakukan secara paksa. Berikut jawaban bagaimana penyederhanaan partai bisa dilakukan. Pertama, penyederhanaan sistem kepartaian dengan electoral threshold secara bertahap, maka secara alamiah jumlah partai politik akan berkurang melalui jumlah suara yang diperolehnya dalam pemilihan umum.
Kedua, penggabungan antara sistem pemilu proporsional dan distrik seperti yang sudah berlaku dalam UU Pemilu No. 12/2003 (sistem pemilu proporsional daftar calon terbuka). Dengan konsep daerah pemilihan diciutkan relatif kecil sehingga jumlah partai yang mampu meraih kursi tidak terlalu banyak. Hanya sekitar tujuh partai politik yang mampu mendapat electoral threshold 3% dan sembilan partai kecil yang meraih kursi di parlemen lewat Pemilu 2004. Dengan begitu, sistem pemilu akan efektif mengurangi jumlah partai.
Ketiga, menyempurnakan UU yang mengatur pemilihan presiden khususnya mengenai syarat partai dan gabungan partai untuk mencalonkan presiden harus diperbesar persentasenya dari 15% menjadi 25%, sehingga dapat dihasilkan presiden yang didukung partai mayoritas di parlemen. Tidak seperti saat ini, figur presiden didukung oleh partai yang tidak mayoritas di DPR sehingga presiden harus mengumpulkan koalisi agar pemerintahannya stabil dan efektif.
Wacana di atas merupakan pekerjaan yang tak mudah dilakukan, dan memerlukan kerja keras. Namun, hasilnya akan tampak apabila dalam proses politik perubahan terus dibenahi. Pasalnya, dengan realitas masyarakat yang multiagama, multietnis, dan multi-kedaerahan, masing-masing bisa mengatakan punya cara sendiri-sendiri untuk mencapai tujuan akhir berbangsa dan bernegara.
Untuk itu, penyederhanaan partai hendaknya dilakukan secara arif dan bertahap sehingga dapat mendorong terciptanya hubungan instansi kenegaraan yang koheren dan sinergis. Koheren artinya memiliki cita-cita yang sama dan sinergis artinya saling menguatkan dengan niat baik sehingga tercapai masyarakat Indonesia yang dicita-citakan seperti diamanahkan dalam Pembukaan UUD 1945.***

0 comments: