MEREFLEKSI KEBANGKITAN

NARA SUMBER ; KANG CECEP TEA
PERINGATAN seabad kebangkitan nasional berlangsung dalam selimut kabut keprihatinan. Angka kemiskinan terus bertambah. Antre sembako dan BBM hampir merata di mana-mana. Belum lagi mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan.
Sekadar mengingatkan, hitungan satu abad kebangkitan nasional yang dirayakan bangsa Indonesia adalah merujuk pada kelahiran gerakan Boedi Oetomo, organisasi yang hidup kurang lebih selama 27 tahunan (1908-1935). Boedi Oetomo (BO) lahir dari pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan beberapa mahasiswa (antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh, dan Soeleman) di perpustakaan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Topik diskusinya, nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda), serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu.
Kepekaan itu kemudian menuntun mereka untuk bersatu dalam satu gerakan sosial. Sayangnya mereka pun terjebak pula dalam situasi yang memungkinkan nalar-nasionalismenya tidak berjalan maksimal. Gerakan BO pada waktu itu baru mencakup wilayah Jawa-Madura dan berkutat di antara kelompok elite Jawa. Aktivisnya adalah ambtenar yang cenderung menunjukkan sikap yang lebih propemerintah Kolonial dibanding memperjuangkan aspirasi rakyat Indonesia. Tidak mengherankan bila umur organisasi sosial ini tidak seawet organisasi sosial sezaman lainnya.
BO bubar pada tahun 1935 dan kita menggarisbawahi nasionalisme atau kebangsaan yang diperjuangkannya. Kita memang kerap mengusung sebuah nasionalisme atau kebangsaan. Namun, nilai-nilai kebangsaan yang diperjuangkan tersebut, kadang berupa kebangsaan sesaat dan hanya untuk kelompoknya sendiri. Sehingga tidak heran bila BO kurang mendapat respons dari masyarakat.
Sebagai sebuah refleksi, pada masa sekarang pun tidak sedikit parpol yang mengatasnamakan diri sebagai partai politik peduli rakyat Indonesia atau mengatasnamakan partai nasional. Kendati mengusung dan menjual nama rakyat, mereka lebih cenderung menjadikan rakyat sebagai sekadar alat perjuangan untuk meraih kepentingan politik dan kepentingan ekonominya sendiri. Konsep "ekonomi kerakyatan" hanya barang dagangan untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan politik dan ekonomi bagi diri dan kelompoknya. Inilah realitas nasionalisme sesaat, nasionalisme pragmatis, atau nasionalisme kaum ambtenar seperti yang pernah ditunjukkan sejumlah aktivias BO.
Bila kondisi ini dibiarkan, akan memperburuk derajat dan martabat bangsa Indonesia. Bukannya bertambah terhormat, Indonesia malah akan menjadi objek kepentingan politik masyarakat dunia. Indonesia bukan hancur oleh serangan dari luar, namun lebih disebabkan pengeroposan dari dalam. Perilaku elite tersebut mirip virus yang melumpuhkan "kekebalan tubuh nasionalisme" Indonesia. Secara perlahan, Indonesia semakin lemah dan lunglai akibat virus perilaku politik kalangan elite yang kurang mencerminkan kepentingan bangsa dan negara.
Tak heran, kalau banyak bangsa yang kemudian kurang menghormati Indonesia. Contoh nyata adalah dalam kasus tudingan politik Ramos Horta yang menuduh Republik Indonesia (media massa) terlibat dalam kasus kudeta di Timor Leste. Sebelumnya, klaim Malaysia terhadap budaya dan pulau, sikap Amerika Serikat dengan NAMRU 2, dan kasus-kasus lainnya.
Bagi kelompok kritis, perilaku negara-negara asing tersebut merupakan bagian dari gerakan politik yang merongrong kedaulatan dan martabat bangsa Indonesia. Banyak pihak yang melakukan kritik keras terhadap perilaku negara asing tersebut. Namun sayangnya, respons dari kalangan elite Indonesia tidak seperti yang diharapkan publik. Pemerintah cenderung bersikap lemah terhadap negara lain.
Terkait itu, ada kebutuhan mendesak bagi bangsa Indonesia saat ini untuk mereformasi kembali semangat nasionalisme. Kita bangsa Indonesia perlu menata ulang, menumbuhkan kembali spirit nasionalisme yang selaras dengan kepentingan bangsa Indonesia saat ini dan masa depan. Kebutuhan ini bukan karena kita melihat melemahnya semangat nasionalisme di kalangan muda saat ini, namun lebih karena kita melihat kemandegan pemikiran kebangsaan yang diluncurkan oleh pemimpin bangsa saat ini. Bangsa Indonesia butuh semangat nasionalisme baru untuk menjaga kelangsungan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Dalam rangka merumuskan nasionalisme bangsa yang baru ini, ada sejumlah agenda nasional yang harus dijadikan lawan oleh bangsa Indonesia.
Pertama, kenyataan dan telah menjadi fakta nasional bahwa musuh besar Indonesia saat ini adalah kejahatan kerah putih yang terhimpun dalam bentuk KKN. Praktik KKN tidak jauh berbeda, bahkan lebih kejam dari imperialisme dan kolonialisme Belanda dan Jepang. Praktik KKN adalah musuh dalam selimut, dan serigala berbulu domba. Terhadap musuh ini, perlu ada kesepahaman nyata dan satu untuk tetap dijadikannya sebagai musuh nasional.
Kedua, kondisi sosial ekonomi rakyat Indonesia yang perlu dijadikan landasan paradigmatis perjuangan bangsa Indonesia saat ini. Berbagai hal yang terkait dengan masalah kemiskinan, kebodohan, dan rendahnya kualitas kesehatan, merupakan tantangan bangsa Indonesia saat ini dan masa depan. Kita perlu bersatu untuk maju dan bangkit dari keterpurukan bangsa Indonesia.
Ketiga, perlu adanya satu rasa-satu jiwa dalam memahami krisis nasional. Kelemahan bangsa kita saat ini adalah tidak ada pemahaman yang utuh terhadap berbagai hal yang akan dihapuskan dari bangsa Indonesia. Mendefinisikan tindak pidana korupsi saja, elite politik dan penegak hukum Indonesia masih mengalami kesulitan. Sehingga tidak aneh bila kemudian berbagai kebijakan negara tidak mendapat dukungan maksimal dari rakyatnya.
Di bawah kendali pimpinan Presiden Soeharto, Indonesia maju dan bergerak menunju tatanan bangsa yang berdaulat. Di luar kontroversi terhadap berbagai kebijakannya, pendekatan pendidikan politik Orde Baru selama 32 tahun lalu telah mampu memberikan dampak nyata terhadap terpeliharanya NKRI. Sayangnya kesadaran berbangsa dan bernegara ini tidak meresap ke dalam sanubari bangsa Indonesia. Sehingga nilai-nilai nasionalisme itu seolah-olah dangkal, kering, dan verbalis.
Sementara itu, saat ini, alih-alih merasa bebas untuk memaknai nilai-nilai kebangsaan, malah lahir risiko besar bagi masa depan Indonesia. Ancaman disintegrasi dan atau tanpa arah menjadi bagian dari kondisi bangsa. Hal ini terjadi, bukan saja, karena kita salah arah, namun karena kita sudah salah urus dan salah paham terhadap nilai kebangsaan kita saat ini

0 comments: