PERJUANGAN MELAWAN LUPA

Oleh Radea Juli A. Hambali
Sebagai sebuah bangsa dengan cita-cita besar, kita memimpikan banyak hal terjadi di republik ini. Hadirnya kemakmuran, pendidikan yang merata, pemerintahan yang bersih dan berwibawa, terciptanya keadilan, menipisnya persentase kemiskinan, dan seterusnya. Lantas digelarlah pemilu, termasuk juga pilkada. Sang pemimpin kemudian hadir dan sejumlah program disiapkan. Selesaikah urusannya?
Sang pemimpin memang datang dan pergi. Akan tetapi, kehadirannya tak pernah persis sebangun dengan yang rakyat mimpikan. Kehidupan rakyat tetap saja merana karena pemimpin dan juga negara seolah-olah menjadi sosok yang asing dan sibuk dengan urusannya sendiri. Janji manis beserta bujuk rayu yang diobral di arena konsolidasi dan diteriakkan di mimbar-mimbar kampanye, hilang begitu saja dan menguap menjadi sekadar dusta. Benarlah apa yang dikatakan Nietzsche, "Negara adalah monster yang terdingin hatinya dan dengan dingin pula ia berdusta."
Dusta adalah mekanisme pelupaan yang dibuat sedemikian rupa atau disebut juga sebagai "penyangkalan terstruktur". Menurut Stanley Cohen (2001), ada sepuluh model penyangkalan terstruktur (State-organized Denial) yang bisa dilakukan oleh negara. Dua di antaranya adalah metode mengulur-ngulur waktu dan meminta masyarakat untuk melupakan sejumlah tragedi yang pernah terjadi. Mengorek luka lama adalah pekerjaan yang sia-sia sebab ia hanya akan mengebalikan rasa sakit dan penderitaan, demikian apologinya.
Dusta atau lupa yang disengaja itu memang tak biasa dibiarkan, terlebih jika ia dilakukan oleh seorang pemimpin, juga oleh negara. Sengaja melupakan ataupun tindakan mengubur ingatan adalah kejahatan, demikian menurut Haryatmoko dalam bukunya Etika Politik dan Kekuasaan (2003). Pada titik ini, peran masyarakat menjadi penting, ia berkewajiban untuk mengingatkan dan memperjuangkan terpenuhinya janji-janji yang pernah diucapkan. Benarlah apa yang dikatakan oleh Milan Kundera dalam novel kontrovesialnya The Book of Laughter and Forgetting bahwa "perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa".
Ingatan
Harus diakui bahwa bangsa kita ini agak bermasalah dalam hal ingatan. Memori kolektif kita tak cukup kuat untuk merekam dan menyimpan lama-lama suatu ingatan tentang peristiwa yang pernah terjadi. Hilir mudiknya berbagai peristiwa --yang paling tragis sekalipun-- tak satu pun berjejak dalam kesadaran dan menjadi titik berangkat yang bisa menuntun kita untuk menyelesaikan peristiwa itu secara terang dan tuntas.
Ketika kita berhari-hari membicarakan tentang penderitaan rakyat Sidoarjo yang rumah dan tempat tinggalnya terkubur oleh lautan lumpur, tiba-tiba saja pembicaraan itu terhenti karena perhatian kita bergeser kepada peristiwa jatuhnya pesawat komersial yang menelan banyak korban dan kita pun berduka. Duka ini pun kemudian dipaksa rehat karena kita dikejutkan kembali oleh beredarnya film tentang adegan mesum seorang anggota dewan dengan seorang penyanyi dangdut.
Ketika kita secara intens membicarakan tindakan asusila wakil rakyat ini, tiba-tiba perhatian kita digeser kembali oleh kehebohan dengan tertangkap tangannya seorang aparat hukum oleh KPK karena menerima suap. Begitulah seterusnya, peristiwa-peristiwa sosial itu datang susul-menyusul memenuhi langit kesadaran manusia Indonesia hari ini. Sayangnya, tak satu pun dari peristiwa itu lekat dalam ingatan dan kita tuntas membahasnya. Mudah datang mudah juga pergi, ibarat sakitnya jerawat di hidung kemudian terlupakan karena munculnya bisul di pantat.
Bagi pemegang kekuasaan, teori lupa bisa menjadi senjata yang sangat ampuh. Ia bisa menjadi strategi yang diciptakan untuk mengalihkan perhatian publik dari suatu peristiwa yang paling krusial sekali pun. Dengan ini, rakyat tak diberi kesempatan untuk bisa mengenali dan memahami apa yang sebenarnya pernah terjadi. Atas nama stabilitas nasional, misalnya, kekuasaan bisa memaksa publik untuk melupakan peristiwa yang terjadi di masa lampau. Ajakan untuk melupakan masa lalu sering kita dengar diserukan oleh para elite politik. Dalam konteks penyelesaian pelanggaran HAM, misalnya, seorang mantan petinggi TNI yang menolak diperiksa oleh KPP (Komisi Penyelidikan Pelanggaran) atas kasus Trisakti I dan II (TSS), menyerukan sikap untuk tidak terjebak pada peristiwa masa lalu.
Tugas intelektual
Mengatasi lupa --yang disengaja (dusta) ataupun tidak-- dibutuhkan suatu perjuangan yang tak kenal lelah. Sekalipun diakui bahwa manusia adalah tempatnya lupa, namun usaha untuk mengingatkan --sebagai bagian dari perjuangan itu-- adalah suatu keharusan demi keberlangsungan hidup yang lebih baik. Terlebih dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, usaha mengingatkan menjadi conditio sine qua non bagi terselenggaranya suatu sistem pemerintahan yang dapat dipercaya dan bermartabat di hadapan rakyatnya.
Dalam kacamata Antonio Gramsci, elemen masyarakat yang bisa menjalankan "misi suci" perjuangan untuk tugas mengingatkan kekuasaan adalah kaum intelektual. Peran penting yang dilakukan oleh kaum intelektual itu adalah membongkar selubung dan memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa janji, rayuan, ataupun iming-iming adalah bagian dari jerat-jerat ideologis yang belum tentu dapat diwujudkan oleh sebuah kekuasaan juga oleh negara.
Dengan kemampuan analisisnya, kaum intelektual dituntut secara proaktif untuk memprovokasi sebuah usaha penyadaran sehingga rakyat bisa mengerti dan memahami secara jelas bahwa janji, rayuan, ataupun iming-iming adalah cara yang paling ampuh yang dibuat oleh penguasa untuk menjerat dan menaklukkan hati rakyat. Slogan-slogan yang ramai dicekokkan ke dalam benak rakyat pada masa kampanye pilgub kemarin, misalnya, adalah bagian dari strategi untuk menjerat hati rakyat untuk kemudian memberikan simpati dan dukungannya kepada calon yang diusung. Sebuah janji, rayuan, ataupun iming-iming pada akhirnya bisa jatuh menjadi kebohongan belaka manakala tidak direalisasikan.
Peran strategis yang dituntut dilakukan oleh kaum intelektual ini dirasakan mendesak untuk segera diwujudkan. Di berbagai daerah di Indonesia, seperti yang telah kita saksikan, telah muncul wajah-wajah baru yang siap menduduki kursi kepemimpinan (kekuasaan). Dalam konteks ini, tugas intelektual adalah mengawal dengan sikap kritis jalannya roda pemerintahan supaya benar-benar sesuai dengan kehendak dan aspirasi rakyat.
Salah satu pengejawantahan dari sikap kritis itu adalah peran intelektual untuk senantiasa berjuang dengan penuh kejujuran mengingatkan pemimpin supaya tidak melupakan semua janji-janjinya. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh George Santayana, "Mereka yang melupakan sejarah akan dikutuk untuk melakukan kesalahan yang sama." ***

0 comments: